28 February 2008

Sekilas Sejarah Pembina Iman Tauhid Islam

oleh: HM Syarif Tanudjaja, SH
Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh almarhum H. Abdul karim Oei Tjeng Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho Goan Tjin bertujuan untuk mempersatukan muslim-muslim Tionghoa di Indonesia dalam satu wadah yang dapat lebih berperan dalam proses persatuan bangsa Indonesia.

PITI adalah gabungan dari Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dipimpin oleh Alm H. Abdusomad Yap A Siong dan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM) dipimpin oleh Alm Kho Goan Tjin. PIT dan PTM yang sebelum kemerdekaan Indonesia mula-mula didirikan di Medan dan di Bengkulu, masing-masing masih bersifat lokal, sehingga pada saat itu keberadaan PIT dan PTM belum begitu dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itulah, untuk merealisasikan perkembangan Ukhuwah Islamiyah di kalangan muslim Tionghoa maka PIT yang berkedudukan di Medan dan PTM yang berkedudukan di Bengkulu merelakan diri pindah ke Jakarta, dengan bergabung dalam satu wadah yakni PITI.

PITI didirikan pada waktu itu sebagai tanggapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah almarhum KH Ibrahim kepada almarhum H. Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.

Kami bersyukur dan berbangga bahwa karena jasa-jasanya kepada Nusa dan Bangsa, salah satu pendiri PITI, yakni almarhum H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien, pada tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu, memperoleh anugrah Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudoyono.

Visi PITI adalah mewujudkan Islam sebagai Rahmatan Lil A’lamin (Islam sebagai rahmatan bagi sekalian alam).
Misi PITI adalah mempersatukan muslim Tionghoa dengan muslim Indonesia, Tionghoa muslim dengan Tionghoa non muslim, serta etnis Tionghoa dengan umat Islam di Indonesia.

Program PITI adalah menyampaikan dakwah Islam khususnya kepada masyarakat Tionghoa dengan pembinaan dalam bentuk bimbingan dalam menjalankan syariah Islam di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya serta pembelaan/perlindungan bagi mereka yang karena masuk Islam, untuk sementara bermasalah dengan keluarga dan lingkungannya.

Sampai saat ini, agama Islam tidak/belum menarik bagi masyarakat Tionghoa, akibat dari politik Devide et Impera kolonial Belanda yang memberi posisi rendah umat Islam, memisahkan etnis Tionghoa dengan penduduk asli lewat status sosial yang berbeda; memposisikan muslim Tionghoa menjadi "pribumi".

Padahal agama Islam sudah masuk Tiongkok semasa Rasullulah masih hidup (abad VII - kini terdapat 4 makam yang dipercayai sebagai makam sahabat nabi di Tiongkok) dan saat ini sudah dianut lebih kurang 80-100 juta umat. Bahkan pada 600 tahun silam, seorang tokoh bahariwan besar dari Tiongkok, Laksamana Muhammad Cheng Ho (Zheng He) telah berkali-kali berkunjung ke Nusantara, sambil menyebarkan agama Islam di tempat-tempat persinggahannya.

Sesuai dengan visi dan misi serta program kerjanya, PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional berfungsi sebagai tempat singgah, tempat silahturahmi untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah serta tempat berbagi pengalaman bagi etnis Tionghoa baik tang tertarik dan ingin memeluk Islam maupun yang baru memeluk agama Islam.

Dalam perjalanan sejarah keorganisasiannya, ketika di era tahun 1960-1970 an, khususnya setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965 (G 30-S) PKI yang pada saat itu pemerintah sedang menggalakkan gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, "Nation and Character Building", simbol-simbol/identitas/ciri yang dianggap bersifat dissosiatif (menghambat pembauran) seperti istilah, bahasa, dan budaya asing khususnya Tionghoa dilarang dan dibatasi, PITI terkena dampaknya yaitu nama Tionghoa pada kepanjangan PITI, dilarang. Berdasarkan pertimbangan kebutuhan bahwa gerakan dakwah kepada masyarakat Tionghoa tidak boleh berhenti, maka pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI, mengubah kepanjangan PITI menjadi PEMBINA IMAN TAUHID ISLAM.

Singkatan PITI harus dipertahankan/dilestarikan, apakah Pembina Iman Tauhid Islam atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia bahkan kepanjangan nama lainnya, bagi kami etnis Tionghoa muslim tidak menjadi masalah. Karena identitas PITI sudah me-masyarakat di kalangan umat Islam. PITI adalah Muslim Tionghoa, Muslim Tionghoa adalah PITI. PITI adalah panggilan/sebutan kesayangan umat Islam terhadap muslim Tionghoa. Konsekwensinya, umat Islam menghendaki "motor-motor penggerak" wajah PITI adalah mereka yang berasal dari etnis Tionghoa.

Sejak didirikan sampai saat ini, keanggotaan dan kepengurusan PITI bersifat terbuka dan demokratis, tidak terbatas hanya pada Muslim Tionghoa tetapi juga berbaur dengan Muslim-muslim di Indonesia. Ibarat sesosok tubuh manusia, ’wajahnya muslim Tionghoa’, bagian/komponen tubuh lainnya muslim Indonesia.

Jika pada suatu saat, atas dasar kesepakatan anggota, kepanjangan PITI kembali menyandang/mempergunakan nama etnis Tionghoa sebagai nama organisasi ini, semata-mata sebagai strategi dakwah dan kecirian organisasi ini bahwa prioritas sasaran dakwahnya ditujukan kepada etnis Tionghoa.

Dalam hal kepengurusan, sejak mula didirikan ketentuan organisasi khususnya tentang penyelenggaraan musyawarah tingkat nasional yang terkait pula dengan pergantian masa bakti kepengurusan di Dewan Pimpinan Pusat (DPP), belum dijalankan/dilaksanakan secara konsekuen, yakni setiap lima tahun. Tahun 1987, diadakan Musyawarah I di Cibubur,Jakarta Timur yang menghasilkan pengurus di bawah pimpinan Bapak Mayjen (Pur) Drs. H. Satibi Darwis. Namun saat itu, kinerja pengurus pusat PITI kian menurun. Satu per satu pengurus Daerah (DPW & DPC) berguguran. Pengurus yang tersisa pun tampak seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Seiring dengan nafas reformasi tahun 2000, sontak membuat PITI tergelitik untuk melakukan perubahan. Muktamar Milenium (Muktamar Nasional II) pun digelar guna membangkitkan kembali semangat dan struktur organisasi PITI. Pada Muktamar ini, akhirnya secara resmi ditetapkan Ketua Umum Alternatif yaitu Bapak HM Trisno Adi Tantiono selaku Ketua Umum Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PITI 2000-2005. Dalam perjalanan selanjutnya, karena kesibukan kerja dan alasan yang bersifat pribadi Bapak HM Trisno Adi Tantiono mengundurkan diri. sehingga sejak tanggal 2 Oktober 2003 forum internal sepakat mengangkat/menunjuk Bapak HM Jos Soetomo sebagai penjabat Ketua Umum.

Lewat berbagai proses yang muncul dalam perjalanan keorganisasiannya, menunjukkan bahwa masih perlu banyak penyempurnaan dan pengaturan mekanisme organisasi dalam lingkungan PITI.

Pada masa bakti 2000-2005, program utama DPP PITI, terbatas pada rekonsolidasi pengurus wilayah dan daerah yang pada masa lalu, sudah dibentuk di seluruh propinsi di Indonesia dari Aceh sampai Papua. Saat ini baru terrekonsolidasi koordinasi wilayah di Propinsi-propinsi Sumatra Utara, Bangka Belitung, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, Lombok, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur. Sedang yang masih dalam proses pembentukan, Propinsi-propinsi Sumatra Barat dan Jawa Barat.

Tahun 2005, geliat gerakan dakwah di daerah-daerah mulai tampak yakni dengan mulai banyaknya pembangunan masjid-masjid berasitektur Tiongkok mengikuti jejak masjid Muhammad Cheng Hoo di Kota Surabaya, misal di Purbalingga, Masjid Ja’mi An Naba KH Tan Shin Bie, di Purwokerto, di Palembang Masjid Cheng Ho Sriwijaya dan semarang. Masjid Cheng Hoo Jawa Tengah dan Islamic Center di Kudus.

Apapun dan bagaimanapun kondisi organisasinya, PITI sangat diperlukan oleh etnis Tionghoa baik yang muslim maupun non muslim. Bagi muslim Tionghoa, PITI sebagai wadah silaturahmi, untuk saling memperkuat semangat dalam menjalankan agama Islam di lingkungan keluarganya yang masih non muslim. Bagi etnis Tionghoa non muslim, PITI menjadi jembatan antara mereka dengan umat Islam. Bagi pemerintah, PITI sebagai komponen bangsa yang dapat berperan strategis sebagai jembatan penghubung antar suku dan etnis, sebagai perekat/lem untuk mempererat dan sebagai benang perajut persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

sumber : pitijatim.org

No comments: