21 September 2007

Berjualan di Negeri China

Richard Branson, pendiri dan pemilik kelompok usaha
Virgin adalah sosok pengusaha yang tidak hanya sukses,
namun juga sangat terkenal. Tidak heran kemanapun dia
pergi, selalu ada saja yang minta foto bareng dengan
dia. Suatu ketika, sewaktu sedang bersantai dalam
liburannya di kepulauan Karibia, sepasang suami istri
tua tampak tergopoh-gopoh mendekati Richard Branson
dengan membawa kamera. Richard pun membatin, yah …
dimintai foto bareng lagi deh. Demikian asumsi
Richard, maklum dia kan sosok public figure yang cukup
terkenal. Setelah dekat, Richard pun bersiap-siap
pasang pose sambil tersenyum lebar dan merapikan
rambut gondrong nya. Namun ternyata, sang suami malah
menjulurkan kamera nya kearah Richard sambil berkata,
"mas, bisa tolong fotoin kita berdua gak?"

Hehehe … Ternyata pasangan tadi kenal sama Richard
Branson pun tidak. Asumsi Richard Branson ternyata
salah. Dan demikianlah memang asumsi lebih sering
salah. Dan kalau dalam bisnis kesalahan asumsi akan
mendatangkan kesulitan. Tidak heran, di dalam bahasa
Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi
singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".

Sementara kebanyakan pebisnis pemula teramat sering
mengandalkan asumsi. Wajar, karena bisnis baru
dimulai, sehingga segala perikiraan baru bersifat
asumsi. Namun ada asumsi yang demikian naïf sehingga
akhirnya malah membuka jalan menuju bangkrut. Gejala
ini saya sebut sindrom "berjualan di negeri China"
yang pernah diuraikan Guy Kawasaki di buku the Art of
the Start. Singkatnya, karena di China jumlah
penduduknya demikian besar, seolah-olah jualan apa
saja pasti untung besar. Maka banyak perusahaan
Amerika yang memulai bisnis disana dengan model asumsi
seperti di bawah ini:

China berpenduduk 1,3 milyar, taruhlah 1% nya saja
perlu akses internet, dan kita bisa memperoleh 10%
saja dari yang 1% tadi, dimana setiap pelanggan
bersedia membayar $240/tahun, maka pendapatan pertahun
adalah= 1,3 milyar x 1% x 10% x $240 = $ 312 juta!
Dahsyat bukan. Wah kalau gitu kita rame-rame bisnis
internet di China saja. Kalau ini begitu mudah apa gak
sudah jadi billionaire semua pengusaha internet di
China. Nah disinilah Guy Kawasaki mengingatkan kita.
Betapa asumsi tadi amat sangat menjebak. Karena pada
kenyataanya, justru persoalannya adalah bagaimana
memperoleh 10% dari 1% penduduk China tadi.

Dalam petualangan bisnis saya di masa lalu, saya juga
sempat mengalami sendiri ke-naif an berasumsi. Bersama
beberapa teman kami pernah berniat patungan menjadi
distributor suatu PC local yang baru di launch.
Seperti halnya sindrom "berjualan di negeri China"
tadi, kalkulasi di atas kertasnya begitu indah. Dari
sekitar 1 juta unit penjualan PC di Indonesia per
tahun, kami mengincar 1% saja. Satu persen saja masa
gak bisa sih, demikian waktu itu tim kami menyimpulkan
dengan penuh semangat. Maka dengan harga sekitar Rp.5
juta per unit maka omzet akan mencapai Rp. 50 M,
dengan profit margin 3% saja sudah laba 1.5 M per
tahun. Enak ya, hitungan nya em-em an. Bahkan kami
waktu itu sudah berhayal akan menyisihkan laba untuk
membeli mobil para eksekutifnya, termasuk saya
tentunya. Realisasinya? Hampir mustahil. Banyak sekali
hal yang harus dibereskan sebelum yang 1% tadi bisa
dipegang, mulai dari masalah cashflow hingga
distribusi. Demikian hijau dang masih jauhnya
perjalanan kami untuk mencapai asumsi 1% tadi, hingga
kami tidak bisa menyelesaikan. Ungkapan yang pas
adalah nafsu besar tenaga kurang. Petualangan bisnis
saya yang nomor sekian ini pun mandek di jalan. Bahkan
sedihnya, ini sempat membuat antar partner tidak akrab
lagi.

Lalu apakah tidak boleh kita berasumsi? Tentu boleh,
namun lakukan asumsi sesuai dengan kapasitas usaha
kita. Cara terbaik adalah dengan melakukan asumsi
bottom-up, bukan model top-down seperti di atas. Dalam
hal ini model yang ditawarkan Brad Sugar jauh lebih
masuk akal dan akan menghindarkan kita dari sindrom
"berjualan di negeri China" tadi. Mulailah dengan
menghitung berapa kemampuan Anda saat ini untuk
mendatangkan calon pelanggan yang berminat (lead),
kemudian berapa % kemampuan konversi dari lead menjadi
pelanggan, berapa jumlah transaksi per pelanggan,
berapa rata-rata belanja mereka, dan berapa profit
margin. Peningkatan yang masuk akal bisa dilakukan
dengan memberikan leverage untuk setiap aspek tadi.
Misalnya, jika selama ini dengan 1 orang salesperson
Anda hanya bisa mendatangkan 100 lead per bulan, maka
dengan 2 salesperson Anda bisa berasumsi akan ada 200
lead per bulan. Perhitungan begini jauh lebih membumi
daripada hitung-hitungan manis seperti asumsi a la
"berjualan di negeri China" tadi.

Singkatnya, untuk berbisnis memang perlu bermimpi
besar. Namun untuk memperoleh hasil yang realistis
gunakan juga cara kalkulasi yang realistis. Paling
tepat gunakan fakta, jangan sekedar tebakan, asumsi
atau guessing.

http://fauzirachman to.blogspot. com

Berjualan di Negeri China

Richard Branson, pendiri dan pemilik kelompok usaha
Virgin adalah sosok pengusaha yang tidak hanya sukses,
namun juga sangat terkenal. Tidak heran kemanapun dia
pergi, selalu ada saja yang minta foto bareng dengan
dia. Suatu ketika, sewaktu sedang bersantai dalam
liburannya di kepulauan Karibia, sepasang suami istri
tua tampak tergopoh-gopoh mendekati Richard Branson
dengan membawa kamera. Richard pun membatin, yah …
dimintai foto bareng lagi deh. Demikian asumsi
Richard, maklum dia kan sosok public figure yang cukup
terkenal. Setelah dekat, Richard pun bersiap-siap
pasang pose sambil tersenyum lebar dan merapikan
rambut gondrong nya. Namun ternyata, sang suami malah
menjulurkan kamera nya kearah Richard sambil berkata,
"mas, bisa tolong fotoin kita berdua gak?"

Hehehe … Ternyata pasangan tadi kenal sama Richard
Branson pun tidak. Asumsi Richard Branson ternyata
salah. Dan demikianlah memang asumsi lebih sering
salah. Dan kalau dalam bisnis kesalahan asumsi akan
mendatangkan kesulitan. Tidak heran, di dalam bahasa
Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi
singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".

Sementara kebanyakan pebisnis pemula teramat sering
mengandalkan asumsi. Wajar, karena bisnis baru
dimulai, sehingga segala perikiraan baru bersifat
asumsi. Namun ada asumsi yang demikian naïf sehingga
akhirnya malah membuka jalan menuju bangkrut. Gejala
ini saya sebut sindrom "berjualan di negeri China"
yang pernah diuraikan Guy Kawasaki di buku the Art of
the Start. Singkatnya, karena di China jumlah
penduduknya demikian besar, seolah-olah jualan apa
saja pasti untung besar. Maka banyak perusahaan
Amerika yang memulai bisnis disana dengan model asumsi
seperti di bawah ini:

China berpenduduk 1,3 milyar, taruhlah 1% nya saja
perlu akses internet, dan kita bisa memperoleh 10%
saja dari yang 1% tadi, dimana setiap pelanggan
bersedia membayar $240/tahun, maka pendapatan pertahun
adalah= 1,3 milyar x 1% x 10% x $240 = $ 312 juta!
Dahsyat bukan. Wah kalau gitu kita rame-rame bisnis
internet di China saja. Kalau ini begitu mudah apa gak
sudah jadi billionaire semua pengusaha internet di
China. Nah disinilah Guy Kawasaki mengingatkan kita.
Betapa asumsi tadi amat sangat menjebak. Karena pada
kenyataanya, justru persoalannya adalah bagaimana
memperoleh 10% dari 1% penduduk China tadi.

Dalam petualangan bisnis saya di masa lalu, saya juga
sempat mengalami sendiri ke-naif an berasumsi. Bersama
beberapa teman kami pernah berniat patungan menjadi
distributor suatu PC local yang baru di launch.
Seperti halnya sindrom "berjualan di negeri China"
tadi, kalkulasi di atas kertasnya begitu indah. Dari
sekitar 1 juta unit penjualan PC di Indonesia per
tahun, kami mengincar 1% saja. Satu persen saja masa
gak bisa sih, demikian waktu itu tim kami menyimpulkan
dengan penuh semangat. Maka dengan harga sekitar Rp.5
juta per unit maka omzet akan mencapai Rp. 50 M,
dengan profit margin 3% saja sudah laba 1.5 M per
tahun. Enak ya, hitungan nya em-em an. Bahkan kami
waktu itu sudah berhayal akan menyisihkan laba untuk
membeli mobil para eksekutifnya, termasuk saya
tentunya. Realisasinya? Hampir mustahil. Banyak sekali
hal yang harus dibereskan sebelum yang 1% tadi bisa
dipegang, mulai dari masalah cashflow hingga
distribusi. Demikian hijau dang masih jauhnya
perjalanan kami untuk mencapai asumsi 1% tadi, hingga
kami tidak bisa menyelesaikan. Ungkapan yang pas
adalah nafsu besar tenaga kurang. Petualangan bisnis
saya yang nomor sekian ini pun mandek di jalan. Bahkan
sedihnya, ini sempat membuat antar partner tidak akrab
lagi.

Lalu apakah tidak boleh kita berasumsi? Tentu boleh,
namun lakukan asumsi sesuai dengan kapasitas usaha
kita. Cara terbaik adalah dengan melakukan asumsi
bottom-up, bukan model top-down seperti di atas. Dalam
hal ini model yang ditawarkan Brad Sugar jauh lebih
masuk akal dan akan menghindarkan kita dari sindrom
"berjualan di negeri China" tadi. Mulailah dengan
menghitung berapa kemampuan Anda saat ini untuk
mendatangkan calon pelanggan yang berminat (lead),
kemudian berapa % kemampuan konversi dari lead menjadi
pelanggan, berapa jumlah transaksi per pelanggan,
berapa rata-rata belanja mereka, dan berapa profit
margin. Peningkatan yang masuk akal bisa dilakukan
dengan memberikan leverage untuk setiap aspek tadi.
Misalnya, jika selama ini dengan 1 orang salesperson
Anda hanya bisa mendatangkan 100 lead per bulan, maka
dengan 2 salesperson Anda bisa berasumsi akan ada 200
lead per bulan. Perhitungan begini jauh lebih membumi
daripada hitung-hitungan manis seperti asumsi a la
"berjualan di negeri China" tadi.

Singkatnya, untuk berbisnis memang perlu bermimpi
besar. Namun untuk memperoleh hasil yang realistis
gunakan juga cara kalkulasi yang realistis. Paling
tepat gunakan fakta, jangan sekedar tebakan, asumsi
atau guessing.

http://fauzirachman to.blogspot. com

PENTING!!!

Mohon agar pesan ini dapat
disebarkan kepada seluruh Saudaramu
seiman !!! Jika tidak...maka seluruh
Muslim di dunia bisa saja mendapatkan
informasi yang salah dan keliru tentang
Islam, untuk itu dimohon agar dapat
menyebarkan pesan ini segera setelah
membacanya. Waspadalah terhadap website
dibawah ini kerana ia adalah dakyah
orang non-muslim mempersoalkan kebenaran
al-Quran, Hadith dan Islam....

1.www.answering-islam.org
2.www.aboutislam.com
3.www.thequran.com
4.www.allahassurance.com

15 September 2007

GEMA RAMADHAN 1428

DALAM MENYAMBUT BULAN RAMADHAN PITI BAGANSIAPIAPI MENGADAKAN ACARA SBB:
1. RUQYAH MASAL
2.DZIKIR AKBAR
3.PESANTREN RAMADHAN

SEMUA KEGIATAN DIADAKAN DI MESJID RAYA AL-IKHSAN BAGANSIAPIAPI.

22 March 2007

SEMINAR

Forum Ilmu I Milist Reza Ervani

"Muslim Tionghoa Indonesia, Sejarah dan Perkembangan, Dinamika Budaya serta Peran Strategisnya"

Sabtu, 28 April 2007,
09.00 - 13.00 WIB

Gedung PPSDMS Nurul Fikri,
Jln. Lenteng Agung Raya No. 20 Srengseng Sawah
Jakarta Selatan 12640

Nara Sumber Utama :
H. Syarif Tanudjaja, SH
(Tan Lip Siang)

Kabid Dakwah, Pendidikan & Kebudayaan
PENGURUS HARIAN DEWAN PIMPINAN PUSAT
PEMBINA IMAN TAUHID ISLAM
d/h PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI)
PERIODE 2005 - 2010
****
Pendaftaran via sms :
Ketik FI (spasi) Nama (spasi) Asal Tempat
kirim ke 0818648142
atau via email ke : rezaervani@gmail.com

Investasi Kebersamaan Rp. 50.000,-
Transfer ke 130 000 50 59 590
Bank Mandiri KC Siliwangi, Bandung
a.n. Marini Roestiana
Konfirmasi pembayaran ke 0818648142

Tempat terbatas hanya untuk 50 orang
Nama-nama yang telah mendaftar akan dimuat secara berkala di milist http://groups.yahoo.com/group/rezaervani
blog : http://rezaervani.blogspot.com

Kerjasama dan Sponsorship
Reza Ervani 0818648142
rezaervani@gmail.com

Forum Ilmu I Milist Reza Ervani

"Muslim Tionghoa Indonesia, Sejarah dan Perkembangan, Dinamika Budaya serta Peran Strategisnya"

Sabtu, 28 April 2007,
09.00 - 13.00 WIB

Gedung PPSDMS Nurul Fikri,
Jln. Lenteng Agung Raya No. 20 Srengseng Sawah
Jakarta Selatan 12640

Nara Sumber Utama :
H. Syarif Tanudjaja, SH
(Tan Lip Siang)

Kabid Dakwah, Pendidikan & Kebudayaan
PENGURUS HARIAN DEWAN PIMPINAN PUSAT
PEMBINA IMAN TAUHID ISLAM
d/h PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI)
PERIODE 2005 - 2010
****
Pendaftaran via sms :
Ketik FI(spasi) Nama (spasi) Asal Tempat
kirim ke 0818648142
atau via email ke : rezaervani@gmail.com

Investasi Kebersamaan Rp. 50.000,-
Transfer ke 130 000 50 59 590
Bank Mandiri KC Siliwangi, Bandung
a.n. Marini Roestiana
Konfirmasi pembayaran ke 0818648142

Tempat terbatas hanya untuk 50 orang
Nama-nama yang telah mendaftar akan dimuat secara berkala di milist http://groups.yahoo.com/group/rezaervani
blog : http://rezaervani.blogspot.com


Kerjasama dan Sponsorship
Reza Ervani 0818648142
rezaervani@gmail.com

10 January 2007

PITI Harus Satukan Potensi Etnis Tionghoa

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) diharapkan tidak sekadar menjadi wadah payuguban Tionghoa Muslim di Indonesia. ''PITI harus menyatukan seluruh potensi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim, sehingga menjadi kekuatan yang besar dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan,'' kata Wakil Ketua MPR, M Aksa Mahmud, saat meresmikan kantor pusat PITI di Jalan Hayam Wuruk 100-L, Jakarta, Ahad (3/12).

Hadir pada kesempatan tersebut, antara lain Wakil Ketua MPR, AM Fatwa; wakil dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Dr Muhammad Sidik; dan Direktur Urusan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam, Depag, Ahmad Jauhari. Sejumlah dai Tionghoa juga hadir, antara lain Ustad Alifuddin El-Islamy yang tampil memberikan tausiyah.

Aksa yang juga Dewan Penasehat PITI menyebutkan, sampai saat ini banyak anggota masyarakat etnis Tionghoa yang masih merasa ada perbedaan dengan orang-orang Indonesia lainnya, begitu pula sebaliknya. ''Tugas PITI adalah bagaimana caranya membuat orang-orang Tionghoa tidak merasa lagi ada perbedaan dengan orang-orang Indonesia lainnya. Seperti orang-orang keturunan Arab, Pakistan dan India, misalnya, mereka tidak merasa berbeda dengan orang-orang Indonesia lainnya,'' tandasnya.

Aksa menegaskan, pada dasarnya, kalau memang dirangkul, orang-orang etnis Tionghoa itu mau bahu-membahu. Contohnya PITI Makassar, Sulawesi Selatan. ''Ketika kami mengumpulkan semua etnis Tionghoa yang ada di Makassar, ternyata mereka semuanya, baik Muslim maupun non-Muslim, menyatakan siap membangun Masjid Cheng Ho di Makassar,'' ujarnya.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PITI HM Trisno Adi Tantiono mengemukakan sebetulnya PITI merupakan organisasi yang sudah cukup tua. PITI didirikan tahun 1961, namun mengalami pasang surut, antara lain karena faktor politik. ''Tahun 2000 PITI bangkit kembali, dan kami harapkan seterusnya bisa makin berkembang. Selain didukung oleh keberadaan pengurus di seluruh wilayah Indonesia, juga ditandai dengan kehadiran Masjid Cheng Ho di tiap-tiap ibukota provinsi,'' tutur Trisno Adi Tantiono.

Saat ini sudah ada beberapa Masjid Cheng Ho yang sudah dan akan dibangun, antara lain di Surabaya, Demak, Palembang, dan Makassar. ''Justru, di ibukota Jakarta, kami belum membangun Masjid Cheng Ho. Kami berharap dapat segera memperoleh tanah yang cocok dan dana yang memadai untuk membangun Masjid Cheng Ho Jakarta,'' tandas Trisno.

(ika )

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=274801&kat_id=352

Chinese Moslems

Though having lived in the country for centuries, members of Indonesia’s Chinese communities are still often seen as ‘foreigners’, resented for their perceived domination of the economy and their success in business. In riots that took place in 1998 they were targeted for special persecution. The way they are treated reminds one of the way Jewish people are often portrayed and treated in some western societies

A small percentage of the Indonesian Chinese community is Moslem. In Surabaya out of 10,000, some 200 are Moslems. The Muhammad Zheng He Mosque, administered by PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia: Chinese Muslim Association of Indonesia) was built in 2002, the design inspired by the Niu Jie Mosque in Beijing. According to H.S Willy Pangestu, the Secretary of PITI, Chinese Moslems have “very good” relations with the media. The Mosque welcomes people of all faiths to visit and join in prayers.

Kepengurusan DPP PITI Periode 2005-2010

Muktamar Nasional III PITI di Surabaya dari tg 2-4 Desember 2005 telah terselenggara dan berjalan dengan lancar dan baik. Dibuka oleh Wakil Presiden RI, Bp HM Jusuf Kalla di Islamic Center Surabaya dan Muktamar diselenggarakan di Hotel Equator Surabaya, dihadiri oleh 200 orang peserta dari 16 Dewan Pimpinan Wilayah (propinsi) dan 67 DPD (tingkat Kabupaten dan Kota) dengan acara penyempurnaan AD dan ART PITI. Download AD/ART Terbaru DPP PITI disini

Program Kerja 2005-2010 (khusus untuk DPP Program Pembangunan/Pemilikan PITI Center sebagai Sekretariat DPP PITI) dan susunan Pengurus Dewan Penasehat dan Pengurus Harian, DPP PITI Periode 2005-2010. Susunan DPP PITI Periode Tahun 2005-2010 terdiri dari :


Lampiran SK Nomor : 10/MUKNAS-III/PITI/2005

SUSUNAN PENGURUS HARIAN DEWAN PIMPINAN PUSAT
PEMBINA IMAN TAUHID ISLAM
d/h PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI)
PERIODE 2005 - 2010


Ketua Umum H. Trisno Adi Tantiono
Sekretaris Umum H. Budi Setyagraha
Sekretaris H.S. Willy Pangestu
Bendahara Umum H. Moch. Gozali
Bendahara H. Prana Tandjudin
Kabid Organisasi dan Hukum Prof.Dr. Eko Sugitario, SH.,C.N., M.Hum
Kabid Dakwah, Pendidikan & Kebudayaan H. Syarif Tanudjaja, SH.
Kabid Kesejahteraan Sosial Drs. H.M. Anda Hakim, SH,MH,MBL
Kabid Pengembangan Ekonomi Donny Asalim, SH.



USULAN DEWAN PENASEHAT
DEWAN PIMPINAN PUSAT
PEMBINA IMAN TAUHID ISLAM
d/h PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI)
PERIODE 2005 – 2010


1.H.M Jos Soetomo
2.H.M.Y Bambang Sujanto
3.H. Max Mulyadi Supangkat
4.H.M. Aksa Mahmud
5.H. Eddy Sulaiman
6.H. Susilawan Yukeng
7.H. Achmad Ghozali Katianda, SH
8.H. M. Ali Karim Oey, SH
9.DR. H.M Syafii Antonio, M.EC


Surat ketetapan ini disampaikan kepada masing masing yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan keputusan ini, segala sesuatu akan diubah dan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta, pada Tanggal : 18 Desember 2005 M / 16 Dzulqa’idah 1426 H


PIMPINAN SIDANG MUKTAMAR NASIONAL III
PEMBINA IMAN TAUHID ISLAM
d/h PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI)



Prof.Dr. Eko Sugitario, SH.,C.N., M.Hum
Pimpinan Sidang


Drs. H.M. Anda Hakim, SH,MH,MBL.
Wakil Pimpinan Sidang


H. Syarif S. Tanudjaja, SH.
Sekretaris

Yusuf Kasimo
Anggota

Ir. Karim Hasan
Anggota



Note:
Kunjungi DPP PITI Jakarta, untuk mengetahui kegiatannya dan Informasi untuk Mualaf dan calon Mualaf, dengan alamat (sejak 03 April 2006) alamat Gedung PITI Jl. Hayam Wuruk No. 100 L, Jakarta Barat. Telepon 021-629-3431 Fax 021-629-3453 dengan Ibu Dina Leonard dan Klik disini untuk mengetahui alamat KorWil PITI di daerah anda diseluruh Indonesia.

Apakah anda sudah mengetahui adanya PITI di tempat anda sebagai tempat bertanya tentang Islam ? berikut alamat PITI di daerah atau Korwil PITI di daerah anda :


Klik disini untuk mengetahui Susunan DPP PITI Periode Sebelumnya : Periode 2000-2005

Susunan Pengurus Pusat PITI Periode 2000-2005

Sewaktu lahir pada 14 April 1961 di Jakarta, PITI adalah singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, tetapi kemudian diubah menjadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Karena keluar instruksi dari pemerintah (14 Desember 1972) yang menekankan agar organisasi ini tidak berciri etnis tertentu, walaupun PITI tetap merupakan wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim.

Kemudian PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada pertengahan Mei 2000. Dengan demikian, dapat dikatakan PITI saat ini kembali ke Khittah (garis perjuangan) semula, yakni organisasi yang tegas menyebut diri sebagai wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim. Tujuannya adalah mengembangkan dakwah di kalangan orang-orang Tionghoa, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang belum. Yang sudah muslim ditingkatkan pengetahuan dan pengamalan Islamnya, sedang yang belum muslim diberi penjelasan tentang Islam.

Susunan Kepengurusan Pusat PITI untuk masa bakti 2000-2005 telah ditetapkan pada Munas PITI tahun 2000 di Jakarta dengan Mandataris Formatur Bapak HM Jos Soetomo. Ada pun susunan Kepengurusannya adalah sebagai berikut :



SUSUNAN PENGURUS PUSAT PITI - MASA BAKTI 2000-2005
DEWAN PENASEHAT*
1Menteri Dalam Negeri RI
2Menteri Agama RI
3Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
4KH Hasyim Muzadi
5Prof DR H. A. Syafii Ma’arif
6H.Surjadi Soedirdja
7H.Iskandar Kamil, SH
8H. I Made Sadha
9Prof DR H. Yuwono Sudarsono
10H.Max Mulyadi Supangkat
11H. Zaini Azhar Maulani
12H. Suripto, SH
13HM Yusuf Bambang Sujanto
14HM Johan Tjasmadi
15KH Husein Umar
16KH Kholil Ridwan, LC
17Prof DR H. Din Syamsudin
18Dr H. Tarmizi Taher
19Prof DR Nurcholis Madjid
20KH Abdullah Gymnastiar
21Prof DR Awaluddin Djamin
22H. Nur Razaq
23H. Basofi Sudirman
*) Sebagian Susunan Dewan Penasehat ini masih dalam konfirmasi dan akan terus disempurnakan
BADAN PENGURUS HARIAN
Pj. Ketua Umum:HM Jos Soetomo.
Wakil Ketua Umum:HM Trisnoadi Tantiono.
Ketua :H. Abdul Chalim Muhammad.
Ketua :KH. Drs Alifuddin el Islamy.
Ketua:Irwan Hadiwinata, SH, SSp N, MH.
Sekretaris Jenderal:HM Syarif Tanudjaja, SH.
Sekretaris:Drs. H. Sujana Sulaeman.
Sekretaris :H. Prana Tanjudin, SH, MM.
Bendahara Umum :HM Johari.
Bendahara :H Fefen Effendy.
DEPARTEMEN **
Komunikasi dan Ketua : KH Moh. Syarif Hidayatullah
Informasi/Korps Mubaligh Sekretaris : Agus Slamet (Na Peng An)
**) Departemen-departemen dan pengurusnya akan ditetapkan sesuai kebutuhan


Note:
Kunjungi DPP PITI Jakarta, untuk mengetahui kegiatannya dan Informasi untuk Mualaf dan calon Mualaf, dengan alamat (sejak 03 April 2006) Jl. Hang Tuah VII No. 5, Kebayoran Baru, Jakarta, Telepon No. 021-722-8717. dan Klik disini untuk mengetahui alamat KorWil PITI di daerah anda diseluruh Indonesia.

Apakah anda sudah mengetahui adanya PITI di tempat anda sebagai tempat bertanya tentang Islam ? berikut alamat PITI di daerah atau Korwil PITI di daerah anda :

Belum semua Korwil PITI kami data karena keterbatasan informasi, dan akan kami lengkapi secepat mungkin, jika anda mengetahui Korwil PITI di daerah anda dan kepengurusannya, mohon agar kiranya dapat menginformasikan kepada kami di piti@mualaf.com.

Muslim Tionghoa di Indonesia II

Sewaktu lahir pada 14 April 1961 di Jakarta, PITI adalah singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, tetapi kemudian diubah menjadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Karena keluar instruksi dari pemerintah (14 Desember 1972) yang menekankan agar organisasi ini tidak berciri etnis tertentu, walaupun PITI tetap merupakan wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim.

Kemudian PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada pertengahan Mei 2000. Dengan demikian, dapat dikatakan PITI saat ini kembali ke Khittah (garis perjuangan) semula, yakni organisasi yang tegas menyebut diri sebagai wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim. Tujuannya adalah mengembangkan dakwah di kalangan orang-orang Tionghoa, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang belum. Yang sudah muslim ditingkatkan pengetahuan dan pengamalan Islamnya, sedang yang belum muslim diberi penjelasan tentang Islam.

Namun dalam muktamar tahun 2000 di Jakarta, terjadi perdebatan di antara peserta mengenai kepanjangan PITI, apakah kembali kepada Persatuan Islam Tionghoa Indonesia ataukah Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Sebagian peserta menghendaki kembali kepada Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, karena itulah nama organisasi ini sewaktu didirikan dan ingin kembali berkiprah untuk komunitas Tionghoa muslim khususnya. Sebagian lainnya ingin mempertahankan Persatuan Iman Tauhid Indonesia, karena organisasi ini harus terbuka bagi semua orang Islam, walaupun mengutamakan keturunan Tionghoa Muslim.

Untuk menyelesaikan perdebatan itu, maka disepakati untuk menggunakan kedua kepanjangan itu bagi PITI, sehingga kepanjangannya menjadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Keputusan itu diambil, karena para peserta sepakat bahwa PITI mengutamakan Tionghoa, tetapi terbuka bagi pribumi muslim.

Sejak semula PITI yang didirikan oleh H. Abdul Karim Oey Tjeng Hien, H. Abdusomad Yap A. Siong, Kho Goan Tjin, dan kawan-kawan, dimaksudkan sebagai organisasi dakwah untuk membantu orang-orang Tionghoa yang ingin masuk Islam, mempelajari Islam, dan mengamalkan Islam melalui kegiatan sosial.

Menurut penelitian-penelitian yang pernah dilakukan belum ada data yang pasti mengenai jumlah penduduk Tionghoa Muslim di Indonesia, tetapi pimpinan PITI memperkirakan jumlah penduduk Tionghoa ada 10 juta orang, sedang seorang ahli Cina dari Universitas Indonesia, A. Dahana mencatat 7.200.000 orang, dan seorang peneliti masalah Cina dari Universitas Nasional Singapura menduga ada 5.700.000 orang Tionghoa.

Dari jumlah itu orang Tionghoa Muslim menurut pimpinan PITI mencapai 5 (lima) persen, seorang pemerhati tentang Tionghoa muslim HM. Ali Karim memperkirakan Tionghoa Muslim hanya 2 (dua) persen, dan seorang tokoh Tionghoa Muslim yang sangat terkenal yaitu Drs. H. Junus Jahya menduga penduduk Tionghoa Muslim hanya sekitar 1 (satu) persen dari total penduduk Tionghoa di Indonesia. Angka manapun yang diikuti, baik yang mengatakan 5 (lima) persen, apalagi yang menduga hanya 1 (satu) persen, penduduk Tonghoa Muslim memang masih sangat sedikit, sehingga dakwah di kalangan mereka terasa sangat perlu dan mendesak. Tetapi dakwah di kalangan mereka tidak dimaksudkan untuk mengajak masuk Islam, tetapi terutama adalah meluruskan pemahaman mereka yang keliru tentang Islam. Misalnya karena banyak penduduk pribumi muslim yang miskin dan kurang terdidik, maka timbul persepsi yang salah dikalangan orang-orang Tionghoa seolah-olah kalau masuk Islam akan membuat mereka miskin dan bodoh. Kesalahpahaman ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang-orang Tionghoa enggan masuk Islam selama ini.

Karena itu, perlu dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki penganutnya miskin dan bodoh. Islam malah mengharuskan pemeluknya untuk mencari harta yang sebanyak-banyaknya asal caranya halal dan mewajibkan penganutnya untuk menuntut ilmu pengetahuan setinggi-tingginya di bidang apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat dan menuntut ilmu pengetahuan boleh dimana saja. Ada sebuah hadist yang sangat populer: “tuntutlah ilmu walau di negeri Cina.”

Pengertian itulah yang perlu disampaikan kepada orang-orang Tionghoa. Setelah mereka mengerti hal itu lalu mereka masuk Islam atau tidak itu sepenuhnya terserah mereka. Sebab masuk suatu agama, termasuk Islam, tidak boleh dipaksa, tetapi harus didasarkan atas keimanan dan kesadaran pribadi agar dapat menerima dan mengamalkam Islam dengan ikhlas.

Faktor lain yang menyebabkan PITI bertambah penting peranannya saat ini adalah terjadinya perubahan politik, yakni runtuhnya Orde Baru dan munculnya era reformasi. Perubahan politik ini mendorong terjadinya perubahan sikap orang-orang Tionghoa ke arah yang terbuka kepada orang-orang pribumi, yang kemudian mereka terdorong masuk Islam, karena mayoritas golongan pribumi itu muslim.

Pada masa Orde Baru banyak orang Tionghoa bersikap eksklusif, karena bisnis mereka maju dengan pesat berkat fasilitas dari pemerintah, sehingga mereka merasa untuk berbisnis tidak terlalu mendesak bekerjasama dengan golongan pribumi. Kalau kerjasama dengan pribumi biasanya mereka lakukan dengan oknum-oknum pemerintah dan orang-orang yang dekat penguasa.

Dengan demikian, hidup mereka cenderung eksklusif, sehingga kurang mendapat dorongan masuk Islam, kecuali mereka hatinya mendapat hidayah dari Allah atau menikah dengan pribumi muslim. Namun dengan runtuhnya Orde Baru dan diganti oleh era reformasi yang diharapkan memberi kesempatan yang sama kepada golongan pribumi dan nonpribumi dalam berusaha, maka orang-orang Tionghoa tidak bisa lagi berlindung pada kekuasaan. Akibatnya orang-orang Tionghoa harus lebih banyak berinteraksi dan bekerjasama dengan golongan pribumi. Interaksi dan kerjasama yang semakin luas bisa menjadi salah satu dorongan kuat bagi orang-orang Tionghoa untuk masuk Islam.

Karena itu, bisa diduga bahwa pada era reformasi ini akan banyak orang-orang Tionghoa masuk Islam. Untuk mengantisipasi perkembangan ini, maka PITI harus tegas menyebut diri sebagai organisasi Tionghoa agar mudah dikenali oleh orang-orang Tionghoa yang hendak masuk Islam. Sumber http://www.muhammadiyah-tabligh.or.id/

Muslim Tionghoa di Indonesia I

Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat waktunya seperti juga awal kedatangan etnis Tionghoa ke nusantara ini, kecuali dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara negeri Cina dengan Nusantara sudah terjadi sebelum masehi.

Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada pertengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656M) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang, utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak itu mulai tersebarlah Islam di Cina.

Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afghanistan. Jalan ini terkenal dengan nama “jalur sutra”. Sedangkan perjalanan laut melalui Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Muslim Tionghoa di Nusantara ada yang berasal dari imigram Muslim asal Cina lalu menetap di Nusantara. Ada pula yang memeluk Islam karena interaksi antar etnis Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan mereka yang beragama Islam. Kedatangan imigran Musim Tionghoa ke Nusantara, sebelum dan pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara individu-individu. Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara dari negeri Cina sebagian besar dengan cara kolektif (rombongan) beserta keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah non Muslim. Mereka juga hidup terpisah dari penduduk setempat dan tinggal di Pecinan, terutama di masa kolonial.

Kedatangan etnis Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara, tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal dari daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan provinsi Guangdong. Tapi di zaman pemerintah Belanda pernah mendatangkan etnis Tionghoa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda.

Meski kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun keberadaan mereka punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi Muslim.

Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika. Banyak dari anggota muhibah dan anak buah Laksamana Zheng He adalah Muslim, seperti Ma Huan, Guo Chong Li dan Ha San Sh’ban dan Pu He-ri. Ma Huan dan Guo Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemah. Ha San adalah seorang ulama Masjid Yang Shi di kota Ki An. Maka tidaklah aneh pada daerah-daerah yang disinggahi oleh muhibah tersebut penduduknya banyak yang beragama Islam.

Pulau, daerah atau kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dikunjungi oleh 7 (tujuh) kali muhibah Laksamana Zheng He dari tahun 1425 sampai tahun 1431 M adalah Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri, Nakur (Batak), Lide, Aru Tamiang, Pulau Bras, Pilau Lingga, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Beliton dll.

Dari Catatan MA Huan, anggota muhibah pelayaran Laksaman Zheng He, bahwa pada pertengahan abad XV, di kerajaan Majapahit terdapat perantau Cina Muslim yang berasal dari Zhanghou, Quanzhou dan Provinsi Guangdong.

Dari beberapa sumber seperti dalam Seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam Di Indonesia” yang diselenggarakan di Banda Aceh pada September 1980 dan buku-buku antara lain “Islam Di Jawa” , “Islamisasi Di Jawa”, Walisanga Menyebar Islam menurut Babad “Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo”, beberapa wali di antara Walisanga ada beberapa yang mengalir darah Tionghoa.

Dari riwayat tersebut, Muslim Tionghoa di Nusantara Sudah terbaur dengan penduduk setempat. Tetapi ketika Kolonial Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara dan sesuai dengan politik pecah belah(devide et impera) mereka membagi penduduk menjadi tiga golongan. Etnis Tionghoa termasuk golongan Timur Asing dan pribumi Inlander yang mayoritas beragama Islam diberi fasilitas tertentu dan sistem politiknya pun dibedakan dengan golongan pribumi. Hal ini membuat etnis Tionghoa menjadi terpisah dengan penduduk setempat.

Kelompok-kelompok masyarakat etnis Tionghoa di pimpin oleh Kapten, Mayor Tionghoa, yang pada umumnya dari kalangan non-Muslim. Dari data yang ada, Kapiten Cina Muslim terakhir, pada pertengahan abad XVII, bernama Caitson, berganti nama menjadi Abdul Gafur, diangkat menjadi Syahbandar Banten.

Berdasarkan peraturan kolonial Belanda, mereka yang mengikuti tradisi, adat istiadat suatu golongan menjadi golongan tesebut. Islam mengantar etnis Tionghoa melebur dan menjadi bagian pribumi. Hal ini berbeda dengan etnis Tionghoa non-Muslim yang kian terpisah dengan pribumi, seperti air dan minyak.

Pada masa gerakan kemerdekaan, Muslim Tionghoa ikut pula berperan. Salah satu perannya adalah menjadi peserta dalam peristiwa Sumpah Pemuda.

Pada perkembangannya, jarak yang muncul dengan etnis Tionghoa mengundang beberapa Muslim Tionghoa untuk memperbaiki kerenggangan tersebut. Salah satunya adalah Haji Yap Siong yang berasal dari kota Moyen, Cina. Setelah belajar Islam ia menjadi Muslim pada tahun 1931 dan mendirikan organisasi dakwah yang diberi nama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di kota Deli Serdang, Sumatera Utara. Dakwah beliau dimulai dari Sumatera Utara ke Sumatera Selatan dan menyeberang ke Jawa Barat sampai Jawa Timur. Berdakwah dalam bahasa Mandarin dan memperoleh izin dakwah pada waktu itu dari pejabat-pejabat Kolonial Belanda.

Pada tahun 1950 bersama Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu yang pada tahun 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera Selatan. Keduanya bertemu di Jakarta dan mengembangkan PIT. Pada tahun 1953, Kho Guan Tjin mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan MUslim Tionghoa (PMT), di Jakarta. Pada tahun 1954, kedua Organisasi dakwah itu difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955.

Pada tanggal 14 April 1961, di Jakarta, atas prakarsa H. Isa Idris, dari pusat Rohani TNI AD, lahirlah PITI. Sebuah nama dengan kepanjangan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Tujuan PITI adalah mempersatukan antara Muslim Tionghoa dan Muslim Imdonesia, Muslim Tionghoa dengan Etnis Tionghoa dan etnis Tionghoa dengaan Indonesia Asli.

Pada awal tahun 1972, Kejaksaan Agung RI dengan alasan bahwa agama Islam adalah agama universal, menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa atau Islam-Islam lainnya. Maka pada tanggal 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Demikian Kiprah Muslim Tionghoa sejak kedatangannya di Nusantara sampai saat ini di segala bidang kehidupan sesuai dengan profesinya.

sumber :www.mualaf.com

korwil piti pekanbaru

assalam mualaikum wr. wb
Salam Buat semua suadaraku yang sudah bergabung maupun akan bergabung Di PITI.
Mungkin bagi yg baru menemukan situs ini, apa itu PITI? PITI adalah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PEMBINAAN IMAN TAUHID ISLAM) atau sering juga disebut Indonesian Chinese Moslem Assocition.
sebelumnya saya aktif di korwil piti yogyakarta disaat masih kuliah. tapi saat ini saya sudah kembali ke kampung halaman lagi yakni di bagansiapi api - Riau.
Melihat kondisi saudara kita yg ada di riau belum terbentuk kepengurusan di riau. Oleh karena itu saya mengajak rekan-rekan yang ada di riau untuk bisa memberi tau saudara Tionghoa masuk islam ( Mualaf) ke kita. karena sebagai muslim baru, saudara kita membutuhkan teman, tempat berlindung, dan juga bimbingan. berhububungan sudara kita yg baru hijrah ke dalam Islam membutuhkan teman yang dapat memberikan dukungan moril dan perlindungan dari ancaman keluarga.