21 September 2007

Berjualan di Negeri China

Richard Branson, pendiri dan pemilik kelompok usaha
Virgin adalah sosok pengusaha yang tidak hanya sukses,
namun juga sangat terkenal. Tidak heran kemanapun dia
pergi, selalu ada saja yang minta foto bareng dengan
dia. Suatu ketika, sewaktu sedang bersantai dalam
liburannya di kepulauan Karibia, sepasang suami istri
tua tampak tergopoh-gopoh mendekati Richard Branson
dengan membawa kamera. Richard pun membatin, yah …
dimintai foto bareng lagi deh. Demikian asumsi
Richard, maklum dia kan sosok public figure yang cukup
terkenal. Setelah dekat, Richard pun bersiap-siap
pasang pose sambil tersenyum lebar dan merapikan
rambut gondrong nya. Namun ternyata, sang suami malah
menjulurkan kamera nya kearah Richard sambil berkata,
"mas, bisa tolong fotoin kita berdua gak?"

Hehehe … Ternyata pasangan tadi kenal sama Richard
Branson pun tidak. Asumsi Richard Branson ternyata
salah. Dan demikianlah memang asumsi lebih sering
salah. Dan kalau dalam bisnis kesalahan asumsi akan
mendatangkan kesulitan. Tidak heran, di dalam bahasa
Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi
singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".

Sementara kebanyakan pebisnis pemula teramat sering
mengandalkan asumsi. Wajar, karena bisnis baru
dimulai, sehingga segala perikiraan baru bersifat
asumsi. Namun ada asumsi yang demikian naïf sehingga
akhirnya malah membuka jalan menuju bangkrut. Gejala
ini saya sebut sindrom "berjualan di negeri China"
yang pernah diuraikan Guy Kawasaki di buku the Art of
the Start. Singkatnya, karena di China jumlah
penduduknya demikian besar, seolah-olah jualan apa
saja pasti untung besar. Maka banyak perusahaan
Amerika yang memulai bisnis disana dengan model asumsi
seperti di bawah ini:

China berpenduduk 1,3 milyar, taruhlah 1% nya saja
perlu akses internet, dan kita bisa memperoleh 10%
saja dari yang 1% tadi, dimana setiap pelanggan
bersedia membayar $240/tahun, maka pendapatan pertahun
adalah= 1,3 milyar x 1% x 10% x $240 = $ 312 juta!
Dahsyat bukan. Wah kalau gitu kita rame-rame bisnis
internet di China saja. Kalau ini begitu mudah apa gak
sudah jadi billionaire semua pengusaha internet di
China. Nah disinilah Guy Kawasaki mengingatkan kita.
Betapa asumsi tadi amat sangat menjebak. Karena pada
kenyataanya, justru persoalannya adalah bagaimana
memperoleh 10% dari 1% penduduk China tadi.

Dalam petualangan bisnis saya di masa lalu, saya juga
sempat mengalami sendiri ke-naif an berasumsi. Bersama
beberapa teman kami pernah berniat patungan menjadi
distributor suatu PC local yang baru di launch.
Seperti halnya sindrom "berjualan di negeri China"
tadi, kalkulasi di atas kertasnya begitu indah. Dari
sekitar 1 juta unit penjualan PC di Indonesia per
tahun, kami mengincar 1% saja. Satu persen saja masa
gak bisa sih, demikian waktu itu tim kami menyimpulkan
dengan penuh semangat. Maka dengan harga sekitar Rp.5
juta per unit maka omzet akan mencapai Rp. 50 M,
dengan profit margin 3% saja sudah laba 1.5 M per
tahun. Enak ya, hitungan nya em-em an. Bahkan kami
waktu itu sudah berhayal akan menyisihkan laba untuk
membeli mobil para eksekutifnya, termasuk saya
tentunya. Realisasinya? Hampir mustahil. Banyak sekali
hal yang harus dibereskan sebelum yang 1% tadi bisa
dipegang, mulai dari masalah cashflow hingga
distribusi. Demikian hijau dang masih jauhnya
perjalanan kami untuk mencapai asumsi 1% tadi, hingga
kami tidak bisa menyelesaikan. Ungkapan yang pas
adalah nafsu besar tenaga kurang. Petualangan bisnis
saya yang nomor sekian ini pun mandek di jalan. Bahkan
sedihnya, ini sempat membuat antar partner tidak akrab
lagi.

Lalu apakah tidak boleh kita berasumsi? Tentu boleh,
namun lakukan asumsi sesuai dengan kapasitas usaha
kita. Cara terbaik adalah dengan melakukan asumsi
bottom-up, bukan model top-down seperti di atas. Dalam
hal ini model yang ditawarkan Brad Sugar jauh lebih
masuk akal dan akan menghindarkan kita dari sindrom
"berjualan di negeri China" tadi. Mulailah dengan
menghitung berapa kemampuan Anda saat ini untuk
mendatangkan calon pelanggan yang berminat (lead),
kemudian berapa % kemampuan konversi dari lead menjadi
pelanggan, berapa jumlah transaksi per pelanggan,
berapa rata-rata belanja mereka, dan berapa profit
margin. Peningkatan yang masuk akal bisa dilakukan
dengan memberikan leverage untuk setiap aspek tadi.
Misalnya, jika selama ini dengan 1 orang salesperson
Anda hanya bisa mendatangkan 100 lead per bulan, maka
dengan 2 salesperson Anda bisa berasumsi akan ada 200
lead per bulan. Perhitungan begini jauh lebih membumi
daripada hitung-hitungan manis seperti asumsi a la
"berjualan di negeri China" tadi.

Singkatnya, untuk berbisnis memang perlu bermimpi
besar. Namun untuk memperoleh hasil yang realistis
gunakan juga cara kalkulasi yang realistis. Paling
tepat gunakan fakta, jangan sekedar tebakan, asumsi
atau guessing.

http://fauzirachman to.blogspot. com

No comments: